Senin, 29 Juni 2009

Mengakhiri Mimpi Buruk para Guru Sepuh


Aturan Baru Sertifikasi 2009

Tiga tahun berjalan, pelaksanaan sertifikasi guru tergambar mulus di tingkat permukaan, sebaliknya di bawah (lapangan) banyak keluhan dan ketidakpahaman dari para guru. Ujung-ujungnya suudzon dan kekecewaan. Buntutnya Disdik daerah dituding tidak adil dan transparan mengurus sertifikasi guru. Benarkah aturan baru sertifikasi guru 2009 relatif lebih mudah dan miskin masalah?
………………………………………………………….

Ada apa dengan para guru sepuh? Sejak sertifikasi guru bergulir tahun 2005, mereka menjadi gelisah pasalnya hanya guru-guru berkualifikasi akademik S-1 dan D-IV yang bisa mengikuti sertifikasi. Padahal para guru kelompok sepuh itu hanya berijazah SPG atau DII. Faktanya, para guru yang lulus sertifikasi banyak yang berusia lebih muda. Hanya karena telah S-1 dan D-IV, mereka melenggang menerima sertifikat. Tunjangan profesi mereka dapat.
“Jumlah guru yang memenuhi syarat untuk sertifikasi masih sedikit, dari 2,7 juta, yang sudah S1 baru 1,1 juta. Tahun 2005 guru SD di Indonesia ada 1,2 juta orang, yang S1 itu baru 12 persen atau sekitar 160 ribu guru,” ujar Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dr. Rochmat Wahab, yang ikut terlibat mena-ngani LPTK penyelenggara sertifikasi guru di Rayon 11, meliputi Jateng dan DIY.
Di Kabupaten Ciamis Jabar, misalnya, menurut Kadisdik Drs. Akasah, MBA, di daerah ini ada sekitar 12.129 guru. Dari total tersebut hanya 3.938 orang berpendidikan Sarjana, 120 orang berpendidikan S2 dan sisanya 8.041 orang masih D1, D2 dan D3. Sedangkan yang lulus sertifikasi baru 1.554 guru.
Merasa hampir putus asa, para guru yang belum S-1 dan D-IV meminta pemerintah menghargai pengabdian mereka yang sudah puluhan tahun mengajar bahkan sebentar lagi hendak pensiun. Namun selama tiga tahun, harapan mereka itu belum terjawab. Hingga keluar Permendiknas No.18 Tahun 2007, persyaratan sertifikasi guru hampir tak berubah. Dalam Permendiknas No.18 Tahun 2007 masih dicantumkan kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV). Aturan lain memudahkan guru yang relatif lebih muda bisa ikut sertifikasi. Para guru S-1 dan D-IV dengan masa kerja minimal 5 tahun dengan usia maksimal 40 tahun berbondong-bondong berebut kuota.
Pemerintah lebih suka para guru memaksakan diri kuliah lagi. “Pemerintah memberi waktu hingga 2014. Jadi masih ada waktu untuk meraih S-1,” kata Bambang Sudibyo.
Kenyataannya tidak mudah bagi para guru sepuh untuk kuliah lagi. Selain keterbatasan lembaga penyelenggara tenaga kependidian (LPTK) di daerah, sulit menarik para guru ke kampus. “Bayangkan ada satu juta lebih guru dibagi dengan 50 LPTK, berarti setiap perguruan tinggi kebagian 20 ribuan guru yang harus di-S1-kan. Dalam sisa waktu 6 tahun ini, berarti rata-rata setiap perguruan tinggi melakukan S1 terhadap 4.000 guru setiap tahunnya. Itu untuk guru SD, belum ditambah guru SMP dan SMA walau-pun jumlah mereka yang belum S1 relatif kecil dibandingkan guru SD. Akibatnya kalau dipaksakan, aspek kualitas bisa dikorbankan,” kata Rochmat Wahab.
Lanjut Rochmat, sebagian para guru susah payah kuliah lagi. Seharusnya bila ingin profesional, para guru itu juga harus mengikuti pendidikan intensif. Tetapi, karena mereka tidak mungkin pergi ke kampus, akibatnya banyak bermunculan pendidikan jarak jauh. Hal itu sulit dikendalikan, ada yang serius, tetapi sebagian besar memakai cara-cara lama, yang penting memperoleh ijazah atau sertifikat.

Angin Segar Berhembus Lagi
Akhirnya kabar gembira berhembus kembali. Dari Jakarta dilaporkan pemerintah berpikir ulang tentang keha-rusan para guru sepuh untuk kuliah lagi. Selain problem waktu dan kesiapan LPTK, aspirasi para guru sepuh wajib dipenuhi. Sejak tahun 2009 pemerintah sudah mengatur mengenai dibolehkannya mereka mengikuti penilaian sertifikasi guru. Hal ini diatur dalam peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.
“Peraturan sertifikasi terbaru tertuang di PP 74 tahun 2008. Termasuk mengenai kesempatan bagi guru yang belum S1 untuk mengikuti penilaian sertifikasi,’’ ungkap Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Dr. Baedhowi.
Dalam PP ini kata Baedhowi, guru yang berusia 50 tahun dan belum berijazah D4 atau S1 bisa ikut sertifikasi. “Selain usianya yang sudah masuk 50 tahun, juga dari masa mengajarnya. Minimal yang boleh mengikuti perkecualian ini adalah guru yang sudah mengajar lebih dari 20 tahun,” kata Baedhowi. Proses penilaian bagi kelompok ini menurutnya sama dengan penilaian sertifikasi kepada peserta yang lain. Yaitu melalui tahapan portofolio, hingga proses pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG).
Sementara itu Direktur Profesi Pendidik Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, Ahmad Dasuki mengatakan selama tiga tahun sertifikasi guru berjalan, ternyata sulit untuk memenuhi kuota karena banyaknya guru yang belum S-1 atau DIV. “Itu sebabnya tahun 2009, sertifikasi diarahkan dulu pada guru-guru yang sudah mengabdi minimal 20 tahun dan berusia 50 tahun ke atas. Sementara yang lainnya diharapkan terus menamatkan S-1,” kata Ahmad seperti dikutif Pena Pendidikan.
Dekan FKIP Unigal Ciamis, Yat Rosvia Brata mengungkapkan, kuota sertifikasi seluruh Indonesia tahun 2009 sebanyak 200.000 orang tersebar di 33 propinsi. Jabar memperoleh kuota 31.432 orang. Kedua terbesar setelah Prov. Jawa Timur yang mendapat kuota sebanyak 35.029 orang. Propinsi yang paling sedikit memperoleh kuota adalah Irian Jaya Barat 325 orang. Jakarta memperoleh jatah 8.605 orang. Sedangkan Kab. Ciamis mendapat kuota 1.358 orang.
Protes di Daerah
Seharusnya sesuai PP 74 tahun 2008, aturan ini baru bisa diterapkan lima tahun setelah PP tersebut keluar. Namun dengan keluarnya Permendiknas No.10 tahun 2009, tahun 2009 ini sudah berlaku. Aturan baru ini membuat para guru sepuh sumringah. Sebaliknya, membuat Disdik Ciamis banjir protes. “Banyak keluhan di daerah. Para guru protes, banyak yang mau pensiun tidak bisa ikut sertifikasi. Lalu ada kecamatan dengan jumlah guru lebih dari 300, yang ikut sertifikasi hanya sekitar 8 orang. Sebaliknya ada kecamatan dengan jumlah guru tidak terlalu banyak, malah mendapat lebih dari 50 peserta,” kata sumber yang tak mau disebutkan namanya.
Akibatnya para Kepala UPTD pendidikan kecamatan harus pintar-pintar meredam kekecewaan para guru. “Kami dituding seolah-olah tak memperjuangan para guru. Padahal mekanisme sudah lain lagi dan itu sudah menjadi ketentuan dari Disdik Kabupaten.” kata seorang KUPTD. Untuk menghindari gejolak diantara para guru, para Kepala UPTD Pendidikan memberikan penjelasan tentang ketentuan tersebut.
”Alhamdulillah sebagian sudah memahami setelah diberi penjelasan”, ungkap Miming Nurjamil, S.Pd., M.M. Kepala UPTD Pendidikan Cijeungjing. Hal senada juga disampaikan oleh Ahmad Arifin, KUPTD Pendidikan Kec.Rajadesa, Kabupaten Ciamis. (apon/arief/tabloid ganesha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar