Sabtu, 04 Juli 2009

Wawancara Mendiknas Bambang Sudibyo


Penyelewengan BOS Hanya di Pusat dan Sekolah!


Tahun 2009 segera tiba. Pendidikan menjadi salah satu bidang yang makin diperhatikan pemerintah. Sejumlah kebijakan bakal dilaksanakan di tahun 2009, salah satunya Kebijakan BOS baru, pembebasan biaya sekolah pada tingkat dasar dan lainnya. Berikut wawancara dengan Mendiknas Bambang Sudibyo d baru-baru ini.
......................................................

Konon pemerintah akan menggulirkan kebijakan BOS yang baru di tahun 2009. Apa saja itu?
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seiring dengan kenaikan anggaran pendi-dikan yang mencapai 20% di tahun 2009, maka pendanaannya pun meningkat. Pening-katan itu mencapai 50% dari tahun 2008. Rincian biaya satuan BOS, termasuk BOS Buku, per siswa/tahun mulai Januari 2009 naik secara signifikan menjadi SD di kota Rp 400 ribu, SD di kabupaten Rp 397 ribu, SMP di kota Rp 575 ribu, dan SMP di kabupaten Rp 570 ribu.

Apa kebijakan lainnya dengan peningkatan tersebut apakah pendidikan menjadi gratis?
Dengan kenaikan kesejahteraan guru PNS dan kenaikan BOS mulai Januari 2009, semua SDN dan SMPN harus membebaskan siswa dari biaya operasional sekolah, kecuali RSBI dan SBI. Di samping itu Pemerintah daerah wajib mengendalikan pungutan biaya operasio-nal di SD dan SMP swasta sehingga siswa miskin bebas dari pungutan tersebut dan tidak ada pungutan berlebihan kepada siswa mampu. Pemda wajib mensosialisasikan dan melaksana-kan kebijakan BOS tahun 2009 serta menyanksi pihak yang melanggar. Pemda wajib memenuhi kekurangan biaya operasional dari APBD bila BOS dari Depdiknas belum mencukupi.

Dengan BOS maka pendidikan dasar di sekolah negeri menjadi gratis, bagaimana dengan sekolah swasta?
Sebenarnya antara sekolah swasta dan negeri BOS-nya sama. Yang beda itu, kalau sekolah negeri gaji gurunya oleh pemerintah, kalau swasta gaji gurunya ditanggung yayasan.Dan yayasan itu banyak yang tidak punya duit. Maka cara yayasan membayar gaji guru adalah dengan memungut dari siswa.UUGD menyangkut kesejahteraan guru belum bisa sepenuhnya bisa dilakukan. Sepanjang itu belum bisa dijalankan, maka gratis pendidikan dasar di swasta belum bisa diterapkan. Maknya tahun 2009 kita mulai bereksperimen dengan membebaskan biaya pendidikan di tingkat SD dan SLTP negeri dulu sehingga wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun bisa tuntas di tahun 2009.
Namun saya ingatkan kebijakan BOS 2009 tidak menghalangi siapa saja termasuk orangtua siswa untuk memberikan sumbangan pada sekolah.Tapi sumbangan ya sumbangan. Tidak boleh jadi paksaan, tidak boleh ditentukan besar dan waktunya.

Sejak BOS digulirkan selalu terjadi ada penyelewengan dana BOS. Bagaimana pemerintah menanganinya?
Mekanisme penyaluran dana BOS itu langsung dari kas negara ke rekening sekolah. Jadi tidak via pemerintah provinsi, kabupaten/kota.Tidak juga lewat dinas pendidikan di daerah. Sistem penyaluran ini dimaksudkan agar mendiknas tidak intervensi, gubernur tidak mengatur dan bupati/walikota bersama krunya tidak campur tangan dalam urusan duit BOS. Maka kalau ada penyelewengan dana BOS itu hanya terjadi di dua tempat: di sekolah oleh guru atau kepala sekolah dan petugas kas negara di pusat.

Lalu bila terjadi indikasi penyelewengan dana BOS apa yang akan dilakukan?
Bila ada pihak sekolah yang melanggar kebijakan BOS 2009, sanksinya sudah ada aturannya.Kalau itu dilakukan oleh sekolah oleh kepala sekolah, guru, atau oleh pegawai dinas. Bila ia PNS, sanksinya bisa diberhen-tikan secara tidak hormat, tidak dengan hormat, diturunkan jabatannya, ditunda ke-naikan pangkatnya,ditunda kenaikan gaji berkalanya, diberi teguran keras dan lain-nya.Ada undang-undangnya ada PP-nya. Siapa yang yang memberi sanksi? Kalau itu pegawai dinas kabupaten/kota maka pemberi sanksinya adalah bupati/walikota, kalau tidak Mendiknas akan menegur bupati/walikota dan ditembuskan kepada presiden dan men-dagri.Jadi yang paling relevan kewenangan-nya dalam hal ini adalah bupati/walikota. Semua sekolah negeri menjadi kewenangan bupati/walikota, kecuali RSBI dan SBI SMP itu kewenangan gubernur. Kalau SD RSBI/SBI bisa di gubenur bisa di bupati/walikota.
Gubernur walikota/bupati yang melaksa-nakan dengan baik pengawasan BOS 2009 tentu akan menjadi populer di mata rak-yat.Karena pendidikan ini adalah hajat hidup orang banyak, menjadi aspirasi orang banyak. Gubernur, walikota/bupati yang saat kam-panye jualan politiknya adalah pendidikan sekarang saatnya untuk melaksanakan janji-janji itu.Kalau ingin terpilih lagi, lakukanlah kebijakan-kebijakan pendidikan yang berpihak pada rakyat seperti BOS ini.

Selain kebijakan BOS apa lagi yang akan dijalankan di 2009?
Selain BOS yang meningkat, ada beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin yang berpres-tasi. Ini dari Depdiknas. Jadi pemerintah su-dah memikirkan dari segala segi dan masalah bantuan itu bukan hanya dari pusat. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota banyak yang memberikan beasiswa untuk mengurangi angka putus sekolah.Disamping juga dari perusahaan-perusahaan swasta yang sadar akan Corporate Social Accessibilty-nya.
Kunci Indonesia untuk maju adalah pendidikan.Kalau Indonesia mau merubah nasib, maka investasi yang dibutuhkan adala investasi untuk meningkatkan sumber daya manusia. Dan itu pendidikan.

BOS untuk pendidikan dasar, sementara untuk pendidikan menengah bagaimana?
Sejak tahun 2009 kita bersama DPR sudah sepakat untuk melaksanakan sebuah eksperimen yang sebenarnya embrio dari BOS juga. Ada subdisi kepada SMA/SMK.Untuk SMA Rp 90ribu persiswa pertahun kalau SMK Rp 120 ribu per siswa per tahun.Namanya Bantuan Operasional Manajemen Mutu. Ini mirip BOS karena cara menghitungnya persis. Dan satu saat nanti jumlahnya bisa ditingkatkan sesuai kemampuan keuangan negara. Demikian juga satu saat nantinya untuk TK/PAUD harus dipikirkan supaya ada pendanaan operasionalnya. Dan tak kalah penting sebaiknya tidak terlalu diformalkan.

Berbagai kebijakan di tahun 2009 bakal dilaksanakan, apa dampak yang diharapkan dari semua itu?
Dengan adanya BOS yang meningkat dan juga peningkatan gaji guru, sesuai dengan prinsip otonomi sekolah, maka ruang gerak bagi sekolah untuk memberikan pelayanan yang bermutu tinggi menjadi makin terbuka. Pemerintah ingin menghormati otonomi sekolah, sebab urusan mutu (manajemen mikro) itu menjadi tanggungjawab kepala sekolah dan guru. Pemerintah sesuai UU Sisdiknas me-ngurus manajemen makronya dengan menga-tur sistem pendidikan nasional, memberikan ruang gerak yang cukup, pendanaan dan sebagainya yang memungkinkan sekolah melakukan penjaminan mutu.
Kunci sekolah untuk maju adalah pertama mandiri, kedua kreatif dan mampu menciptakan entrepreneurship. BOS dinaikan, gaji guru kita perbaiki, sekolah rusak direhab, berbagai fasilitas seperti laboratorium, perpustakaan kita penuhi, maka otoritas sekolah bisa berjalan optimal mengurus dirinya sendiri pada akhirnya dapat meningkatan mutu pendidikan. (agus ponda/tabloid ganesha)

Senin, 29 Juni 2009

Mengakhiri Mimpi Buruk para Guru Sepuh


Aturan Baru Sertifikasi 2009

Tiga tahun berjalan, pelaksanaan sertifikasi guru tergambar mulus di tingkat permukaan, sebaliknya di bawah (lapangan) banyak keluhan dan ketidakpahaman dari para guru. Ujung-ujungnya suudzon dan kekecewaan. Buntutnya Disdik daerah dituding tidak adil dan transparan mengurus sertifikasi guru. Benarkah aturan baru sertifikasi guru 2009 relatif lebih mudah dan miskin masalah?
………………………………………………………….

Ada apa dengan para guru sepuh? Sejak sertifikasi guru bergulir tahun 2005, mereka menjadi gelisah pasalnya hanya guru-guru berkualifikasi akademik S-1 dan D-IV yang bisa mengikuti sertifikasi. Padahal para guru kelompok sepuh itu hanya berijazah SPG atau DII. Faktanya, para guru yang lulus sertifikasi banyak yang berusia lebih muda. Hanya karena telah S-1 dan D-IV, mereka melenggang menerima sertifikat. Tunjangan profesi mereka dapat.
“Jumlah guru yang memenuhi syarat untuk sertifikasi masih sedikit, dari 2,7 juta, yang sudah S1 baru 1,1 juta. Tahun 2005 guru SD di Indonesia ada 1,2 juta orang, yang S1 itu baru 12 persen atau sekitar 160 ribu guru,” ujar Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dr. Rochmat Wahab, yang ikut terlibat mena-ngani LPTK penyelenggara sertifikasi guru di Rayon 11, meliputi Jateng dan DIY.
Di Kabupaten Ciamis Jabar, misalnya, menurut Kadisdik Drs. Akasah, MBA, di daerah ini ada sekitar 12.129 guru. Dari total tersebut hanya 3.938 orang berpendidikan Sarjana, 120 orang berpendidikan S2 dan sisanya 8.041 orang masih D1, D2 dan D3. Sedangkan yang lulus sertifikasi baru 1.554 guru.
Merasa hampir putus asa, para guru yang belum S-1 dan D-IV meminta pemerintah menghargai pengabdian mereka yang sudah puluhan tahun mengajar bahkan sebentar lagi hendak pensiun. Namun selama tiga tahun, harapan mereka itu belum terjawab. Hingga keluar Permendiknas No.18 Tahun 2007, persyaratan sertifikasi guru hampir tak berubah. Dalam Permendiknas No.18 Tahun 2007 masih dicantumkan kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV). Aturan lain memudahkan guru yang relatif lebih muda bisa ikut sertifikasi. Para guru S-1 dan D-IV dengan masa kerja minimal 5 tahun dengan usia maksimal 40 tahun berbondong-bondong berebut kuota.
Pemerintah lebih suka para guru memaksakan diri kuliah lagi. “Pemerintah memberi waktu hingga 2014. Jadi masih ada waktu untuk meraih S-1,” kata Bambang Sudibyo.
Kenyataannya tidak mudah bagi para guru sepuh untuk kuliah lagi. Selain keterbatasan lembaga penyelenggara tenaga kependidian (LPTK) di daerah, sulit menarik para guru ke kampus. “Bayangkan ada satu juta lebih guru dibagi dengan 50 LPTK, berarti setiap perguruan tinggi kebagian 20 ribuan guru yang harus di-S1-kan. Dalam sisa waktu 6 tahun ini, berarti rata-rata setiap perguruan tinggi melakukan S1 terhadap 4.000 guru setiap tahunnya. Itu untuk guru SD, belum ditambah guru SMP dan SMA walau-pun jumlah mereka yang belum S1 relatif kecil dibandingkan guru SD. Akibatnya kalau dipaksakan, aspek kualitas bisa dikorbankan,” kata Rochmat Wahab.
Lanjut Rochmat, sebagian para guru susah payah kuliah lagi. Seharusnya bila ingin profesional, para guru itu juga harus mengikuti pendidikan intensif. Tetapi, karena mereka tidak mungkin pergi ke kampus, akibatnya banyak bermunculan pendidikan jarak jauh. Hal itu sulit dikendalikan, ada yang serius, tetapi sebagian besar memakai cara-cara lama, yang penting memperoleh ijazah atau sertifikat.

Angin Segar Berhembus Lagi
Akhirnya kabar gembira berhembus kembali. Dari Jakarta dilaporkan pemerintah berpikir ulang tentang keha-rusan para guru sepuh untuk kuliah lagi. Selain problem waktu dan kesiapan LPTK, aspirasi para guru sepuh wajib dipenuhi. Sejak tahun 2009 pemerintah sudah mengatur mengenai dibolehkannya mereka mengikuti penilaian sertifikasi guru. Hal ini diatur dalam peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.
“Peraturan sertifikasi terbaru tertuang di PP 74 tahun 2008. Termasuk mengenai kesempatan bagi guru yang belum S1 untuk mengikuti penilaian sertifikasi,’’ ungkap Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Dr. Baedhowi.
Dalam PP ini kata Baedhowi, guru yang berusia 50 tahun dan belum berijazah D4 atau S1 bisa ikut sertifikasi. “Selain usianya yang sudah masuk 50 tahun, juga dari masa mengajarnya. Minimal yang boleh mengikuti perkecualian ini adalah guru yang sudah mengajar lebih dari 20 tahun,” kata Baedhowi. Proses penilaian bagi kelompok ini menurutnya sama dengan penilaian sertifikasi kepada peserta yang lain. Yaitu melalui tahapan portofolio, hingga proses pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG).
Sementara itu Direktur Profesi Pendidik Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, Ahmad Dasuki mengatakan selama tiga tahun sertifikasi guru berjalan, ternyata sulit untuk memenuhi kuota karena banyaknya guru yang belum S-1 atau DIV. “Itu sebabnya tahun 2009, sertifikasi diarahkan dulu pada guru-guru yang sudah mengabdi minimal 20 tahun dan berusia 50 tahun ke atas. Sementara yang lainnya diharapkan terus menamatkan S-1,” kata Ahmad seperti dikutif Pena Pendidikan.
Dekan FKIP Unigal Ciamis, Yat Rosvia Brata mengungkapkan, kuota sertifikasi seluruh Indonesia tahun 2009 sebanyak 200.000 orang tersebar di 33 propinsi. Jabar memperoleh kuota 31.432 orang. Kedua terbesar setelah Prov. Jawa Timur yang mendapat kuota sebanyak 35.029 orang. Propinsi yang paling sedikit memperoleh kuota adalah Irian Jaya Barat 325 orang. Jakarta memperoleh jatah 8.605 orang. Sedangkan Kab. Ciamis mendapat kuota 1.358 orang.
Protes di Daerah
Seharusnya sesuai PP 74 tahun 2008, aturan ini baru bisa diterapkan lima tahun setelah PP tersebut keluar. Namun dengan keluarnya Permendiknas No.10 tahun 2009, tahun 2009 ini sudah berlaku. Aturan baru ini membuat para guru sepuh sumringah. Sebaliknya, membuat Disdik Ciamis banjir protes. “Banyak keluhan di daerah. Para guru protes, banyak yang mau pensiun tidak bisa ikut sertifikasi. Lalu ada kecamatan dengan jumlah guru lebih dari 300, yang ikut sertifikasi hanya sekitar 8 orang. Sebaliknya ada kecamatan dengan jumlah guru tidak terlalu banyak, malah mendapat lebih dari 50 peserta,” kata sumber yang tak mau disebutkan namanya.
Akibatnya para Kepala UPTD pendidikan kecamatan harus pintar-pintar meredam kekecewaan para guru. “Kami dituding seolah-olah tak memperjuangan para guru. Padahal mekanisme sudah lain lagi dan itu sudah menjadi ketentuan dari Disdik Kabupaten.” kata seorang KUPTD. Untuk menghindari gejolak diantara para guru, para Kepala UPTD Pendidikan memberikan penjelasan tentang ketentuan tersebut.
”Alhamdulillah sebagian sudah memahami setelah diberi penjelasan”, ungkap Miming Nurjamil, S.Pd., M.M. Kepala UPTD Pendidikan Cijeungjing. Hal senada juga disampaikan oleh Ahmad Arifin, KUPTD Pendidikan Kec.Rajadesa, Kabupaten Ciamis. (apon/arief/tabloid ganesha)

Ponda yang Mau Berbagi


AGUS PONDA,S.S. lahir di Ciamis, Jawa Barat, 9 Agustus 1973. Saat ini adalah Pemimpin Redaksi Tabloid Pendidikan Ganesha di Ciamis Jawa Barat. Media yang pernah memuat tulisan-tulisannya diantaranya Majalah Sunda Mangle, Majalah HumOr Nasional, Majalah Seru, Majalah Misteri, Pikiran Rakyat dan Surabaya Post, Tabloid SAS, Koran IMSA dan Tabloid Ganesha. Sayang dokumentasi naskah yang telah dimuat sebagian besar hilang.
Tulisan pertamanya berupa puisi dimuat di Tabloid Mitra Desa (Pikiran Rakyat Grup Bandung, kini Mitra Bisnis) ketika masih SMP. Sedangkan artikel dan cerpennya mulai dimuat media cetak sejak kelas dua SMA. Ia juga aktif mengisi Mading Melissa SMAN 1 Ciamis.
Tahun 1992, setahun sebelum kuliah, ia berguru menulis pada penulis senior Bandung Roesli Lahani Yunus dan menjadi anggota Balai Pendidikan Jurnalistik. Bersama gurunya dan belasan penulis ia menjadi peserta termuda Pameran Karya Tulis Hari Pers Nasional di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan Naripan Bandung. Saat kuliah di Ilmu Sejarah Universitas Negeri Jember, Jawa Timur tulisannya juga pernah dimuat di tabloid fakultasnya bernama ‘SAS’ yang kemudian oleh rezim Orde Baru dibrendel tahun 1994. Sambil kuliah ia juga menulis untuk media umum terutama artikel, cerpen dan humor.
Selesai kuliah ia juga sempat membuat buletin remaja masjid Suara Ciminyak di kampungnya. Lalu mendirikan koran Dwimingguan IMSA di Ciamis dengan jabatan redaktur pelaksana sekaligus wartawan (2001-2003).Sejak tahun 2004 ia direkrut PGRI Kabupaten Ciamis menjadi pemimpin redaksi tabloid pendidikan Ganesha. Ia menjadi editor untuk beberapa buku pendidikan seperti Indonesia Yes, Islam No? "Nikmati Proses" karya Dr. Gumilar, MM dan penyusun buku "Guru Samidrun" karya Dr. Wawan S.A. Arifien, MM.Saat ini ia juga sedang menyiapkan beberapa tulisan mulai dari novel, cerita lucu, bidang umum, hingga keagamaan untuk dikirimkan ke penerbit buku.